Sepayung Berdua Denganmu
Project Collaboration Writing by Rifky Adina Irawan & (me) Iyasa Nindyaningrum
“
Hujan...” Gumam Neta pelan diulurkannya tangannya kedepan merasakan
buliran-buliran air yang membasahi tangannya. Mengetahui tak dapat melakukan
apa-apa Neta hanya bisa terdiam menunggu dan berharap hujan segera usai. Samar-samar
terlihat bayang seseorang menembus hujan tentu saja dengan payung merah polos
seperti biasanya. Tanpa sadar seulas senyum tipis menghiasi wajah mulus Neta.
Ya lelaki bermata coklat bulat itu selalu saja menjemputnya ketika hari sedang
hujan dan menghilang begitu saja ketika hari sedang cerah. Neta bahkan tak tahu
nama pria itu dan sebaliknya juga. Ia
bahkan tak mencoba mencari tahu nama pria itu. Neta hanya menginginkan apapun
tentangnya langsung dari mulut pria itu sendiri. Kejadian ini pun berlangsung
begitu saja secara natural.
“ Hai...”
“ Hai...”
“ Ayo biar kuantar kamu pulang” Ucap pria itu dan dibalas
dengan anggukan Neta.
Entah
apa yang ada dipikiran Neta, ia tak pernah mengetahui mengapa ia tak takut akan
bahaya yang akan terjadi kapan saja bersama pria yang bahkan ia tidak ketahui
namanya. Ia selalu merasa nyaman dan ia percaya lelaki ini tak kan menyakitinya
dan pikiran bodohnya tentang pria itupun tak meleset sedikitpun.
“ Kamu tahu? Sebelumnya aku sudah pernah berpacaran, kukira
kami akan mencapai jenjang yang lebih serius tetapi setelah kutahu ternyata dia
selingkuh dengan sahabatku. Hubungan kami hilang begitu saja. Menyakitkan
memang tapi kurasa itu memang salahku; tak mempunyai waktu untuknya tapi itu
juga yang membuatku tak berani lagi dengan hal-hal berbau cinta.
Aneh bukan?” Neta mengarahkan kepalanya kesamping kirinya memastikan apa yang
didengarnya dengan baik. Ia selalu menyukai pria itu berbicara, suara yang sangat
menenangkan. Saat-saat seperti ini yang disukainya, saat-saat dimana pria itu
berbicara tentang pengalamannya. Neta tak selalu menyauti kata pria itu dan
sepertinya pria itu mengerti dengan sifat yang dimiliki oleh Neta.
“ Akhir-akhir ini aku mulai ragu dengan pendapatku itu.
Entah bersama wanita itu aku selalu merasa yakin tapi aku tak mengerti harus
bagaimana. Mengingat sifatnya yang serba tak peduli itu membuat nyaliku ciut
begitu saja. Kuharap aku dapat mengatakannya padanya.”
“ Ah, kita sampai,” Pria itu membukakan pintu mobilnya untuk
Neta. Neta sedikit merasa kecewa berpayung dengannya harus selesai secepat ini.
Ia berharap mobilnya dapat menjauh dengan sendirinya, mungkin sejauh ujung
kulon lebih baik. Neta selalu merasa tertarik akan keberadan pria ini, ya hanya
tertarik. Tetapi kenapa ketika pria itu berkata tentang wanita yang -dapat
membuatnya mengerti cinta lagi- baru saja dikatakan olehnya membuat ulu hati
Neta merasa nyeri. Ia hanya dapat memegang dan menekan untuk menetralisirkan
perasaan itu. “Demi tuhan, penyakit apa ini?”Batinnya.
***
Neta POV
Pria
disampingku –yang kini tengah menyetir- ini tak pernah sedikitpun membuatku
merasa jengah. Mata bulat berwarna hazel itu juga sangat menawan, terlalu
menawan. Hidungnya yang mancung dan kulit putih ditambah dengan tampangnya yang
maskulin dan rahangnya yang tegas. Aku tak pernah peduli tentang penampilan
orang-orang disekitarku minus untuk
orang tuaku, Deo –adik lelakiku-, Audy –satu-satunya sahabatku- dan... pria
ini. Aku suka ketika ia memakai baju kemeja putih polos dan celana jeans
panjang yang membuatnya seperti orang kantoran atau mungkin dia memang sudah
berkerja? Mengingat aku tak pernah tahu sedikitpun tentangnya. Sayang ketika ia
memakai baju itu, tubuhnya harus kebasahan karna ya dia selalu datang hanya
saat hujan. Tetapi basahan itu jugapun memperlihatkan bagian lengannya yang
sedikit berotot.
“Bagaimana harimu?” ucapnya yang membuat pikiranku membuyar.
“Seperti biasa, tidak buruk dan tidak juga baik.”
Hanya 2 kata tetapi sangat penuh
makna. Kata yang selalu ia tanyakan padaku yang selalu kujawab dengan jawaban
sekenanya dan berakhir dengan senyuman sepihaknya. “Hariku tak pernah baik-baik
saja jika tak ada-mu” kata-kata yang telah kususun dengan rapi itu selalu saja
tertahan dimulutku, tak berani keluar.
“Apa kamu sudah makan? Atau kamu sedang lapar sekarang?”
“Tidak, aku sudah makan soto ayam tadi. Terima kasih.”
“Oh baiklah.”
“Tapi kurasa jika kamu lapar, aku akan menemanimu.”
“Kamu yakin?”
“Hmm...”
***
Neta POV
Suara gemuruh disertai kilat
halilintar terdengar jelas dari jendela kaca di belakangku. Aku mengambil
sedikit langkah mundur untuk menghindari kilatan-kilatan itu. Sudah setengah
jam aku terjebak di sebuah minimarket dekat kampus, niat awal ingin segera
pulang kerumah dengan berjalan kaki sampai halte untuk naik bus kota, tetapi
hujan tiba-tiba saja datang menerpa dengan kasar bahkan sebelum aku sampai di
halte.
Sekarang aku harus memutar otak
bagaimana caranya aku bisa sampai di halte yang jaraknya kurang lebih 500 meter
dari minimarket ini tanpa harus kebasahan. Sedangkan, aku tak membawa payung
atau apapun yang bisa melindungiku dari terpaan hujan saat ini. Ya, aku selalu
begini, lupa membawa payung.
Tapi, setelah ku pikir berulang
kali, aku takkan bisa pulang kalau harus menunggu hujan hingga reda. Hujan
semacam ini bisa dipastikan akan bertahan lama. Aku pun membulatkan tekad untuk
menerobos hujan untuk bisa sampai ke halte dan aku bisa pulang dengan naik bus.
Aku mulai memasukkan semua buku-buku tebal yang tadinya aku pegang untuk
dimasukkan dalam tas agar tidak basah. Dengan cepat aku berlari menembus hujan,
aku bahkan tak perduli lagi dengan flatshoes tosca-ku yang sekarang basah
terkena genangan air hujan dan kemeja abu-abu ku yang sudah basah terkena
tetesan hujan. Hari yang sial,
batinku.
Tapi tidak juga setelah aku merasakan tetesan hujan tak
lagi membasahi tubuhku, aku menengadah dan melihat payung lipat merah polos
yang sebenernya tidak untuk dua orang itu tengah memayungi diriku. Aku berhenti
melangkah, kulihat sosok yang memegang payung merah itu dan lagi-lagi lelaki
itu lagi; lelaki yang selalu datang ketika hujan.
“Hai,” sapa lelaki itu dengan sebuah senyuman hangatnya.
Aku justru terdiam karena
tersihir oleh pesonanya. Rambutnya sedikit basah akibat percikan hujan dan
bulir-bulir air kecil terlihat disekitaran wajahnya yang bisa kulihat dengan
jelas pada jarak sedekat ini dan itu menampakkan kesan menawan.
“Kalau aku ketemu kamu pasti sedang hujan”
“Bukannya kebalik ya? Setiap kali turun hujan, aku selalu
ketemu kamu”
Kami berdua justru membicarakan
hal tak penting semacam ini dipinggir trotoar dengan payung merah yang tak
seharusnya untuk dua orang ini, sehingga kami harus tetap menjaga jarak
terdekat kami agar tak terkena hujan.
“Aku cariin kamu ke halte yang biasanya tapi kamu nggak ada,
untung aja aku lewat sini terus lihat kamu ada disini,” Lelaki itu berbicara
lagi, aku masih terpaku menatap dirinya sambil mencerna perkataannya.
Apa maksud ucapannya
adalah ia datang dengan menjadikanku tujuan utamanya disaat hujan lebat seperti
ini? Apa ia selalu begini?
“Untuk apa kamu mencariku?” pertanyaan itu terus saja
berputar-putar di kepalaku dan baru kali ini aku berhasil menanyakan hal itu
padanya.
Ia terlihat berfikir sebentar
namun dengan pasti ia menjawab dengan lembut,“Karena kamu selalu lupa untuk
bawa payung disaat musim hujan seperti ini. Karena itu, aku akan selalu
menemukanmu tiap hujan turun.”
Mengapa itu terdengar
seperti sebuah janji?
“Hujannya makin deras. Kau yakin mau tetap berdiri disini
dan terus-terusan mengajakku berdebat?” ucap lelaki itu berbicara dengan suara
yang sengaja ia keraskan karena suara hujan yang deras, tapi suaranya tetap
saja terdengar lembut dan menenangkan.
Setelah itu, aku mengikutinya
menuju mobil miliknya yang ia parkir dipinggir jalan tak jauh dari tempat kami
berdiri. Didalam mobil pun tak ada satupun diantara kami yang berbicara. Kami
justru sibuk dengan pikiran masing-masing, lelaki itu juga fokus pada kegiatan
menyetirnya hingga sebuah suara aneh terdengar sedikit nyaring, setidaknya
lelaki disampingku ini dapat mendengarnya dengan jelas.
“Kamu lapar?” tanya lelaki itu setelah mendengar suara aneh
itu berasal dari suara perutku yang kelaparan.
Aku mengangguk sambil berusaha
menahan malu karna kepergok mengeluarkan suara-suara aneh yang berasal dari
perutku itu. Aish!
Ia tersenyum, “Kenapa kamu nggak
bilang daritadi? Ayo aku antar ke tempat makan favoritku!”
Aku hanya diam, melihatku yang
sedikit ragu, ia kembali berbicara, “Bukankah aku sudah bilang kalau aku akan
menemanimu makan jika kau lapar?”
Kali ini apa lagi?
Mengapa ini terdengar seperti sebuah janji yang ia tepati?
***
Hujan masih turun dengan deras,
membuat kaca pada jendela besar disamping kananku ini berembun dan terlihat
buliran-buliran air hujan turun membasahi jendela kaca itu. Lelaki itu duduk
dihadapanku, ia terus memandangku seolah aku ini lukisan abstrak yang tak
terbaca, sementara diriku menetralisir rasa gugupku, aku terus memandang kearah
jendela kaca disebelahku sambil sesekali menyuapkan soto ayam milikku.
“Kau tidak makan? Bukannya kau bilang ini tempat makan
favoritmu? Lalu kenapa kau tidak makan?” tanyaku berusaha memecah keheningan.
“Kau suka sekali makan soto ayam ya?” lelaki itu justru
balik bertanya.
“Ya, aku sangat suka makan soto ayam apalagi disaat hujan
seperti ini. Menurutku ini lebih baik dari segelas teh panas saat hujan.”
Lelaki itu mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Hey, kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau tidak
makan sementara kau bilang ini tempat favoritmu?” aku kembali menyuarakan
pertanyaan yang membuatku penasaran sejak tadi. Karna lelaki itu hanya
memandangku saja sementara ia tak memesan makanan atau bahkan minuman.
“Bukankah memang sejak awal aku mengatakan akan menemanimu
makan? Jadi aku tak ikut makan, lagipula aku tak suka soto ayam.”
“Lalu bagaimana bisa tempat makan yang hanya menjual soto
ayam ini menjadi tempat favoritmu? Kau bahkan tak memesan minuman atau apapun
selain soto.”
“Aku menyukai tempat ini karena ini adalah tempat dimana
pertama kali kita bertemu, kau masih ingat?” ucapnya dengan sorot mata
berbinar.
Aku terpaku, tapi dalam hati aku
membenarkan perkataan lelaki itu. Ya, aku ingat, memang tempat ini adalah
tempat pertemuan pertamaku dengannya. Kala itu, aku sedang makan malam dirumah
makan itu hingga larut, aku terjebak hujan ditempat itu hingga rumah makan itu
hampir tutup dan aku memilih menunggu diteras rumah makan sambil berharap hujan
akan segera reda dan sepertinya Tuhan mengabulkan doaku dengan cara lain, seorang
lelaki datang dengan payung lipat berwarna merah dari dalam rumah makan itu, ia
melihat kearahku sebentar, lalu memberikan payung lipatnya padaku dan ia
berlari menembus hujan untuk masuk kedalam mobil yang terparkir di rumah makan
itu. Lalu, pada hujan berikutnya ketika aku ingin mengembalikan payung merah
itu padanya, hujan turun sangat lebat dan berakhir dengan menggunakan payung
itu berdua untuk melindungi dari terpaan hujan dan hal itu terus saja terjadi
seperti sebuah rutinitas setiap kali hujan turun, ia akan selalu datang.
“Apa kau percaya cinta pada pandangan pertama?”
Aku hanya diam. Tak mengerti dengan maksud pembicaraanya.
“Atau pernahkah kau mendengar tentang seorang pria hanya
membutuhkan waktu 8,2 detik untuk jatuh cinta?”
Apa yang sedang ia
bicarakan?
“Hal itulah yang aku yakini saat ini. Sejak pertama kali
kita bertemu, saat di tempat ini aku melihatmu seorang diri tanpa perlindungan
ditengah hujan, saat aku menatapmu hari itulah aku benar-benar telah percaya
akan hal-hal tabu semacam ini, aku telah jatuh cinta padamu saat detik ke-8 aku
menatapmu,” ia berbicara dengan nada tenang dan lembut seperti biasanya, tapi
aku bisa melihat ketulusan dan kesungguhan pada ucapannya. Aku rasa ia tidak
sedang berbohong.
“Tapi, kita bahkan tak saling kenal, mengetahui nama saja
tidak. Bagaimana mungkin kau jatuh cinta padaku?”
Lelaki itu tersenyum singkat,
lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru berwarna
merah berada di telapak tangannya, ia membuka kotak itu dan memperlihatkan
sebuah cincin platinum berwarna perak,“Kalau begitu izinkan aku mengenalmu.”
Apakah ia baru saja
mengajakku berkenalan atau sedang melamarku?
***