Began to Change
Akhir tahun, akhir dari semester
awal, ya ini merupakan waktu-waktu yang diyakini dimana kau akan memulai menghubungiku, mengirimkan sebuah pesan singkat
padaku. Sungguh sebuah hal sepele yang sebetulnya secara tidak sengaja telah
menjadi rutinitas antara kau dan aku. Yang mana seperti biasa kau akan mulai
menghubungiku lebih dahulu. Masa-masa libur sekolah seperti ini yang selalu
menjadi waktu yang tepat untuk kita
saling bertukar kabar setelah satu semester tidak saling menghubungi dan
memberi kabar.
***
Malam
itu malam minggu, aku sedang menonton drama korea yang sedang populer saat itu.
Dan ketika itu juga, aku menerima sebuah pesan singkat dengan nomor tak dikenal
yang memberi sapaan hangat nan Islamis. Orang tersebut menyertakan namanya di
akhir pesan tersebut, ternyata ia seorang yang ku kenal baik sejak beberapa
tahun lalu. Bukan sebuah pesan spesial seperti dari pasangan yang sedang
menjalani hubungan jarak jauh. BUKAN! Ia hanya menyapaku dan menanyakan kabarku
dengan embel-embel sebutan untukku
sebagai “teman lama”. Dan saat itu juga, aku merasa ada sesuatu yang
mencekat dalam diriku. Aku baru tahu kalau sebuah kata “teman” bahkan “teman lama” begitu menyakitkan dan dapat melukai perasaan
seseorang. Seolah-olah kata tersebut mengandung makna bahwa aku hanya sekedar
teman masa lalu-nya. Hanya itu.
Aku terdiam tak tahu harus menjawab apa, aku berpikir keras memikirkan
kata-kata yang pas untuk membalas pesannya.
Setelah
aku membalas, ia kembali menjawab pesanku. Ia membalasnya dengan sindiran bahwa
aku masih mengingatnya. Astaga, anak ini! Jelas-jelas dia sendiri yang
mengirimku pesan lebih dulu, mengapa ia seolah seperti menyindirku seperti itu?
Beginikah percakapan kita saat ini? Terlihat begitu membosankan. Menyedihkan,
bukan?
Kekesalanku
tak berhenti sampai disitu, aku semakin kesal ketika kau menghentikan
komunikasi itu secara sepihak. Kau tidak membalas pesanku, sehingga aku harus kembali
mengirim-mu sebuah pesan basa-basi agar komunikasi kita tidak terhenti sampai
disitu. Jelas-jelas aku masih ingin berbagi kisah dan bertukar kabar denganmu. Tapi,
justru kau tidak menanggapinya. Aissh!
Tidak seperti
biasanya, komunikasi kita lewat pesan singkat pastinya akan berjalan cukup lama
dan panjang. Mengingat banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditujukan
pada masing-masing diantara kita. Tapi untuk kali ini, tidak seperti biasanya,
komunikasi ini terlihat lebih singkat dan terasa menyebalkan bagiku.
Tak perduli dengan semua itu. Ia
kembali mengirimku sebuah pesan singkat pada malam berikutnya—malam ini, yang isinya hanya
mengingatkanku untuk belajar karena pada esok hari aku sudah akan masuk
sekolah. Lalu, ia justru menyemangatiku saat aku mengatakan sedang malas untuk
belajar. Ia juga mengingatkanku untuk tidur lebih awal dengan alasan
akan bangun pagi-pagi pada esok pagi untuk sahur melaksanakan ibadah puasa
sunnah. Sungguh, anak yang baik. Sepertinya kehidupannya di pondok telah
mengubahnya menjadi seperti ini. Saat ku tanya, ia bahkan selalu melaksanakan ibadah
puasa sunnah selama ini.Wow!
Komunikasi diantara kami masih
berlanjut dengan percakapan-percakapan biasa, lalu ditambah kembali dengan
pertanyaannya yang menanyakan kabar disana—di tempatku saat ini. Aku sedikit
tidak mengerti dengan pertanyaannya, jadi aku membalasnya dengan membalikkan
pertanyaan tersebut padanya “Kabar siapa?
Kabar Pangkalan Bun?” begitu yang aku jawab. Dan ia masih belum membalas
pesanku tersebut—hingga saat ini aku mengetik artikel ini. Alhasil, aku
berpikiran untuk membuat artikel ini. Sangat menyebalkan bukan ketika seseorang
yang memberimu kabar lebih dulu, lalu kau pun membalasnya, sementara ia tidak
kunjung membalasnya lagi disaat kita begitu penasaran dan begitu menantikan
pesan darinya. Ck!
***