Selasa, 01 Mei 2018

Ada sesuatu yang berbeda yang baru saya temukan pada diri saya kemarin malam. Anehnya, saya sendiri sampai bingung dan terus bertanya-tanya pada diri saya sendiri “Benarkah ini aku?” mungkin karena perubahan yang tiba-tiba terjadi pada diri saya yang rasanya seperti diluar kendali saya.

Kemarin malam adalah awal saat saya menemukan diri saya yang tidak seperti biasanya. Jika biasanya saya adalah seorang yang sering mengeluarkan pendapat seenaknya dan cenderung otoriter, maka entah mengapa malam itu saya menjadi seorang yang memilih untuk diam diantara kemelut yang melibatkan saya—lebih tepatnya masalah itu adalah masalah saya, namun justru orang lain yang berdebat disini.

Jika biasanya saya adalah orang yang egois dan keras kepala, apapun itu yang saya katakan adalah benar dan apapun yang saya hadapi harus sesuai keinginan saya, jika tidak saya pasti akan marah. Maka, kemarin malam dengan ajaibnya saya bisa menahan ego dan amarah saya, apalagi saya dapat menahan ego itu terhadap orang tua saya, yaitu ayah saya. Ini seperti bukan diri saya, rasanya.

Jika saat bersama ayah saya, saya masih dapat menahan airmata. Tapi, tidak ketika saya telah sampai rumah dan ayah saya pulang kerumah kami yang sebenarnya. Saya menyadari bahwa saya tetaplah diri saya yang saya kenali dan ada satu hal yang saya tau tentang diri saya yang tidak berubah malam itu adalah saya tetaplah seorang yang mudah rapuh dan untuk hal ini saya percaya betul bahwa ini adalah diri saya.

Seharusnya masalah itu dapat selesai malam itu juga, namun tidak ketika saya melihat sorot mata berbeda dari mata ayah saya. Hati saya bergetar, perasaan sebelumnya yang terasa campur aduk antara ingin marah, ingin mengeluarkan semua keresahan hati saya, sekaligus ingin menangis. Semua rasa itu rasanya meluap saat melihat sorot mata ayah saya. Baru kali itu saya merasa kecewa dengan diri saya sendiri, saya seperti dipukul dan disadarkan “mengapa selama ini saya selalu menjadi seorang anak yang menyusahkan, merepotkan, dan sering kali membuat hati orang tua saya sakit dengan ke-egois-an saya.” Bodohnya saya selama 18 tahun saya hidup, mengapa saya baru terpikir bahwa selama ini saya terlalu banyak menuntut pada orang tua saya dan disini terkadang keegoisan mengendalikan saya bahwa saya tidak pernah mau tahu, yang saya mau adalah mereka juga harus mendukung keinginan saya apapun itu, termasuk saat harus menentukan masa depan saya dan saya kembali menyadari sesuatu yang merubah jalan pikir saya tentang hal itu; lebih lanjutnya akan saya bahas pada artikel tersendiri.

Sampai di rumah, saya tidak tahan lagi membendung airmata. Saya benar-benar merasa berada pada titik terendah saya dalam hidup. Mungkin ini teguran dari Allah bahwa menyadarkan seseorang terkadang tidak perlu melalui kontak fisik atau secara langsung, bahkan saya hanya dengan melihat sorot mata yang belum pernah saya lihat dari orang tua saya saja sudah dapat ‘membangunkan’ saya—entah bagaimana menjelaskannya.

Diantara lirih suara tangis dan lantunan istighfar malam itu, saya berkomunikasi dengan Allah, membuat sebuah janji tepatnya pada diri saya sendiri sekaligus memohon ridha dari-Nya sehingga segala petisi saya malam itu dapat tercipta demi membalas segala usaha dan ketabahan hati orang tua saya dalam menghadapi saya. 

Satu Mei,
(tujuh hari menjelang seleksi bersama
masuk perguruan tinggi negeri)

Semarang, 2018.

My own little world . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates