Sebuah Tamparan yang Baik
Ada sesuatu yang berbeda yang
baru saya temukan pada diri saya kemarin malam. Anehnya, saya sendiri
sampai bingung dan terus bertanya-tanya pada diri saya sendiri “Benarkah ini
aku?” mungkin karena perubahan yang tiba-tiba terjadi pada diri saya yang rasanya seperti diluar kendali saya.
Kemarin malam adalah awal saat
saya menemukan diri saya yang tidak
seperti biasanya. Jika biasanya saya adalah seorang yang sering mengeluarkan
pendapat seenaknya dan cenderung otoriter,
maka entah mengapa malam itu saya menjadi seorang yang memilih untuk diam
diantara kemelut yang melibatkan saya—lebih tepatnya masalah itu adalah masalah
saya, namun justru orang lain yang berdebat disini.
Jika biasanya saya adalah orang
yang egois dan keras kepala, apapun itu yang saya katakan adalah benar dan apapun
yang saya hadapi harus sesuai keinginan saya, jika tidak saya pasti akan marah.
Maka, kemarin malam dengan ajaibnya saya bisa menahan ego dan amarah saya,
apalagi saya dapat menahan ego itu terhadap orang tua saya, yaitu ayah saya. Ini
seperti bukan diri saya, rasanya.
Jika saat bersama ayah saya, saya
masih dapat menahan airmata. Tapi, tidak ketika saya telah sampai rumah dan
ayah saya pulang kerumah kami yang sebenarnya. Saya menyadari bahwa saya
tetaplah diri saya yang saya kenali dan ada satu hal yang saya tau tentang diri
saya yang tidak berubah malam itu adalah saya tetaplah seorang yang mudah rapuh
dan untuk hal ini saya percaya betul bahwa ini adalah diri saya.
Seharusnya masalah itu dapat
selesai malam itu juga, namun tidak ketika saya melihat sorot mata berbeda dari
mata ayah saya. Hati saya bergetar, perasaan sebelumnya yang terasa campur aduk
antara ingin marah, ingin mengeluarkan semua keresahan hati saya, sekaligus
ingin menangis. Semua rasa itu rasanya meluap saat melihat sorot mata ayah
saya. Baru kali itu saya merasa kecewa dengan diri saya sendiri, saya seperti
dipukul dan disadarkan “mengapa selama
ini saya selalu menjadi seorang anak yang menyusahkan, merepotkan, dan sering
kali membuat hati orang tua saya sakit dengan ke-egois-an saya.” Bodohnya saya
selama 18 tahun saya hidup, mengapa saya baru terpikir bahwa selama ini saya
terlalu banyak menuntut pada orang tua saya dan disini terkadang keegoisan
mengendalikan saya bahwa saya tidak pernah mau tahu, yang saya mau adalah mereka juga
harus mendukung keinginan saya apapun itu, termasuk saat harus menentukan masa
depan saya dan saya kembali menyadari sesuatu yang merubah jalan pikir saya tentang
hal itu; lebih lanjutnya akan saya bahas pada artikel tersendiri.
Sampai di rumah, saya
tidak tahan lagi membendung airmata. Saya benar-benar merasa berada pada titik
terendah saya dalam hidup. Mungkin ini teguran dari Allah bahwa menyadarkan
seseorang terkadang tidak perlu melalui kontak fisik atau secara langsung,
bahkan saya hanya dengan melihat sorot
mata yang belum pernah saya lihat dari orang tua saya saja sudah dapat ‘membangunkan’ saya—entah bagaimana
menjelaskannya.
Diantara lirih suara tangis dan
lantunan istighfar malam itu, saya berkomunikasi dengan Allah, membuat sebuah
janji tepatnya pada diri saya sendiri sekaligus memohon ridha dari-Nya sehingga segala petisi saya malam itu dapat tercipta demi membalas
segala usaha dan ketabahan hati orang tua saya dalam menghadapi saya.
Satu Mei,
(tujuh hari menjelang seleksi bersama
masuk perguruan tinggi negeri)
(tujuh hari menjelang seleksi bersama
masuk perguruan tinggi negeri)
Semarang, 2018.