Sulit Dipercaya
Semarang, 6 April 2018
Tiga hari menjelang ujian nasional, doa bersama menjadi kegiatan utama yang dilakukan di sekolah pada hari ini. Aku dan kamu kembali bertemu dalam satu ruang luas yang disebut aula sekolah. Kamu yang sepertinya sudah mengetahui aku—mengetahui namaku—menatapku dengan pandangan berbeda, semakin hari rasanya kamu menjadi lebih sering menatap kearahku juga saat aku tengah memperhatikanmu. Hal ini juga disadari oleh beberapa temanku yang sering bersamaku.
Seperti hari ini, sebelum aku dan
teman-temanku memasuki ruang aula, kamu dan teman-temanmu berdiri dekat pintu masuk aula. Kamu dan teman-temanmu memperhatikan rombonganku yang tengah berjalan
memasuki aula. Teman di sebelahku berbisik, “Kok mereka ngelihatin ya.” Saat
itu aku melihat salah satu temanmu yang sedang berbicara denganmu itu menatap kedatanganku dengan khusyuk sambil menirukan gerakan yang sedang kulakukan saat
itu—aku memegangi pundak kananku setelah merapikan kerudungku. Aku tak tahu
lagi harus bagaimana, aku terlalu takut hingga kuputuskan berhenti menatap kearahmu dan berpura-pura tidak mengetahui apapun. Pandanganku terus tertuju kedepan sembari melewati tempatmu dan teman-temanmu berada hingga pintu ruang aula.
Sikapmu yang seperti ini tentu saja sudah beberapa
kali terjadi sejak berminggu-minggu lalu sebelum USBN, sejak pertama kali kamu
mengetahui diriku dari salah seorang teman lelaki sekelasku yang ternyata
temanmu juga, ia yang memberitahumu bahwa aku sering memperhatikanmu. Ini
diluar dugaan karena temanku itu juga baru tahu hari itu kalau aku ada
“sesuatu” denganmu, tapi hari itu juga sepertinya ia memberitahu padamu tentang
diriku. Sial. Aku tak punya muka lagi sejak saat itu.
Kembali pada hari ini, belum selesai
sampai disitu saja. Saat didalam ruang aula, aku sama sekali tidak tahu keberadaanmu,
terakhir yang aku tahu adalah aku masuk ke ruang aula lebih dulu darimu. Aku
pun sudah tak mengharapkan dapat melihatmu diantara ratusan teman satu angkatan
kita apalagi tempat duduk antara perempuan dan laki-laki dipisahkan oleh
pembatas. Tetapi, sungguh aku tak menyangka saat sedang mendengarkan ceramah
seorang ustadz tadi, aku hanya sekedar melihat-lihat sekelilingku dan tiba-tiba
aku seperti melihat dirimu berada satu baris denganku, namun saat itu aku belum
yakin jika itu benar dirimu karena tertutup oleh yang lain. Dan tiba-tiba teman
di sebelahku berbicara dan otomatis aku menoleh kearahnya, “Owalah ngelihatin
itu to yas.” Aku tidak mengerti mengapa dia bilang begitu padahal aku sama sekali tidak
tahu keberadaanmu dan tidak sedang mencari dirimu. Aku kembali melihat kearah seseorang yang sempat aku kira
itu adalah dirimu.. dan YA! Itu memang benar kamu. Kamu juga melihatku untuk sepersekian detik, lalu tubuh seseorang menutup pandangan kita. Namun, tak bisa dipercaya
bahwa setelah itu yang kamu lakukan adalah menegakkan badanmu lebih tinggi
untuk kembali bisa melihatku dari atas kepala seseorang yang menutup pandangan
kita tadi. Mata kita kembali bertemu dan aku tidak bisa tidak tersenyum lebar
saat hal itu terjadi.
Hingga saat ini jika mengingat kejadian
itu rasanya senyumku seperti ingin terus mengembang, sepele tapi cukup membuat mood-ku baik seharian. Namun, seperti salah seorang sahabatku mengatakan bahwa
tidak seharusnya aku terlalu terbawa perasaan semacam ini karena dia tidak
ingin aku terluka nantinya jika semua yang aku pikirkan ini tidak seperti
kenyataannya. Ada benarnya memang, tapi dia tidak berada di kota yang sama
denganku, dia tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi, karena teman-teman
disekelilingku pun melihat apa yang aku lihat. Tapi, karena perkataannya itu
aku jadi sadar kalau memang tidak seharusnya aku terlalu terbawa perasaan
dengan pikiran-pikiran rancuku ini yang terlihat berlebihan. Karena itu, sebenarnya pesan
ini sudah lama berada dalam draft-ku, baru setelah seleksi bersama masuk perguruan tinggi ini aku mulai mempostingnya .