Heart Demands
Rabu, 21 Oktober 2015
Hai, selamat bertemu kembali.
Setelah beberapa minggu kita tak lagi saling bertemu,
bertatap muka, kontak mata apalagi berbicara. Berhubungan melalui sosial media
saja tidak lagi pernah setelah kita sudah tak lagi berada dalam organisasi yang
sama; yang ketika itu kita pernah menjadi satu tim. Kau ingat?
Meskipun kita berada pada satu sekolah yang sama, tapi perbedaan
tingkat kelas diantara kita memang menjadi alasan yang utama bahwa kita tak
dapat bertemu meskipun berada pada lingkungan sekolah yang sama. Aku adalah
adik kelas tingkat awal di SMA, sedangkan kau adalah kakak kelas satu tingkat
diatasku. Dan lingkungan tiap tingkatan kelas tentu terpisah jauh dan sudah
ditetapkan masing-masing. Oleh karena itu, aku tak pernah berharap banyak untuk
dapat bertemu denganmu setiap harinya. Sangat sulit dan sangat kecil
kemungkinan untuk kita bertemu atau bahkan berpapasan. Kalaupun bertemu itupun
hanya sesekali dan mungkin hanya keberuntungan saja.
Aku juga tak lagi mengharapkan dirimu—seperti dulu— semenjak
berita mengenai kedekatanmu dengan perempuan se-angkatan ku ditambah lagi,
kelasnya berada persis disebelah kiri ruang kelasku. Bagaimana tidak aku dapat
dengan mudah bertemu dengan perempuan itu setiap harinya? Sedangkan, aku selalu
merasa sangat kesal setiap kali melihat wajahnya. Kau tau? Ia seperti merebut
apa yang telah menjadi bagian dalam hidupku. Dan itu menambah dosaku setiap
harinya karena menyimpan amarah apalagi dendam terhadapnya. Astaghfirullahaladzim.
Asal kau tau saja,
perempuan yang ‘katanya’ kau sukai itu adalah perempuan yang selalu aku
puja-puja kecantikannya dan kepribadiannya sejak awal aku melihatnya, sekalipun
aku tak mengenalnya sama sekali. Tapi, setiap hari aku selalu memujinya dalam
hati. Namun, semenjak berita itu sampai ditelingaku, aku bahkan tak lagi ingin
memuji dirinya. Aku kesal. Aku bahkan selalu
berfikir, “seperti ini kah tipe yang kau
sukai?”—Jujur saja, aku iri.
Ah sudahlah membahas mengenai perempuan itu benar-benar akan
menambah dosaku terus menerus, kalau sudah begini tentu aku sendiri yang rugi.
Jadi sore itu ketika sepulang sekolah, aku dan dua orang
temanku menyempatkan diri untuk sholat ashar ke musholla sekolah sebelum kami
akan pergi untuk penilaian renang. Aku baru saja tiba di musholla setelah
beberapa waktu tak masuk sekolah membuatku juga tak lagi menginjakkan kaki di
musholla sekolah. Awalnya aku biasa saja berjalan menuju musholla sembari
bercengkrama dengan dua orang temanku. Sampai didepan musholla, aku dan temanku
baru akan melepas tali sepatu. Namun, perasaanku berubah sedikit berbeda, aku
merasa ada seseorang yang tengah menatap kearahku. Aku meneliti sekelilingku,
memperhatikan tiap orang yang ada, mencari apakah benar ada yang sedang
menatapku; sesuai dengan perasaanku.
Deg. Begitu aku menoleh kearah kanan, seorang lelaki
menatapku persis di manik mataku. Aku bisa melihat matanya tengah melakukan
kontak mata denganku. Matanya seolah berbicara bahwa ada sesuatu yang ingin
diungkapkan namun sepertinya tak bisa. Matanya mengartikan seperti itu.
Aku pun menatap matanya. Tidak! Bukan hanya matanya saja,
tapi aku juga menatap wajah dan rambutnya yang basah sehabis berwudhu. Sungguh sangat
mempesona sekali. Ia berhasil membuat aku jatuh hati untuk yang kesekian
kalinya. Ia tahu bagaimana cari mengambil hati perempuan. Ia benar-benar
mempesona ditambah dengan sisa-sisa air wudhu yang masih menetes diujung-ujung
rambutnya yang selalu ia bentuk berdiri keatas dan sekitar wajah, tangan dan
kakinya.
Ternyata ia telah selesai berwudhu, ia berjalan melewatiku
yang sedang melepas tali sepatu sambil masih terus menatap kearahku; aku bisa
melihat itu dari sudut mataku. Aku benar-benar tak bisa berlama-lama lagi adu
tatap dengannya. Aku memilih mengalah dengan berpura-pura sibuk dengan tali
sepatuku dan berpura-pura tak melihat apalagi memperdulikannya.
Jujur saja, itu adalah tatapan yang selalu aku rindukan
selama beberapa minggu tak lagi pernah bertemu. Itu adalah jenis tatapan yang
dulunya selalu kita lakukan ketika kita sedang berada di lingkungan yang sama
atau bahkan berpapasan ketika berjalan. Tapi bedanya, ketika dulu kita
melakukan tatapan sejenis itu pasti selalu terselip senyum tipis saat
melakukannya, atau bahkan terucap panggilan masing-masing untuk sekedar menyapa
saat tak sengaja berpapasan di jalan.
Tapi, untuk tatapan yang kali ini berbeda. Tak lagi sama
ketika kita masih berada pada satu organisasi yang sama, ketika kita masih
berada dalam satu tim yang sama, dan ketika kau sering mampir kerumah.
Berikutnya, tatapan itu terjadi lagi ketika di dalam
musholla. Kau sudah selesai sholat lebih dulu. Sedangkan aku, masih sibuk
mencari mukena di lemari musholla. Kau berjalan keluar musholla dan aku sembari
mencari mukena bisa melihat bahwa kau sedang melihat kearahku dan detik
berikutnya aku pun melihat kearahmu. Tapi, kau dengan cepat mengalihkan
pandanganmu kearah luar. Nafasku tercekat, entah kenapa rasanya begitu sesak
melihat dirimu yang seperti ini sekarang. Aku masih memandangmu hingga kau
keluar musholla dan pergi begitu saja menghilang dari pandanganku.
Entah mengapa justru di akhir, aku malah kecewa denganmu dan
menyesali perbuatanku diawal seperti yang aku ceritakan diatas ketika bertemu
dengannya didepan musholla. Salahku, aku yang memutuskan untuk tak lagi ingin
meneruskan tatapan yang ia berikan diawal. Aku tak ingin melihat tatapan
sejenis itu lagi, aku tak ingin jatuh hati lagi padanya, aku tak ingin terjebak
lagi dalam pesonanya, aku tak ingin lagi merasa tersakiti seorang diri. Tidak lagi!
Toh, dia sekarang sudah mengincar dan dekat dengan perempuan yang ia sukai. Apalagi?
Aku? Aku akan mundur perlahan-lahan dan menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Bye, selamat berpisah lagi.
Teruntuk,
Lelaki yang selalu memintaku
untuk
memanggil dirinya dengan sebutan “mas”
memanggil dirinya dengan sebutan “mas”