Pertemuan
Fellice
mendongakkan kepalanya yang sedari tadi berkutat dengan layar laptop untuk
menyelesaikan skripsinya yang sudah berminggu-minggu tertunda. Ia menutup layar
laptop miliknya dan mengembalikannya ke dalam ransel berwarna pink polos yang tergeletak diatas meja sejak tadi. Kemudian,
ia beranjak keluar dari kedai kopi kecil di seberang kampusnya.
Ia berjalan
menuju kampusnya; perpustakaan kampusnya lebih tepatnya. Ia berniat mencari
referensi lain untuk bahan skripsinya yang ingin segera ia selesaikan dalam
minggu ini.
Langkahnya terhenti saat ia
melihat jalan pintas yang kecil nan sempit untuk menuju perpustakaan itu
dipenuhi oleh lelaki-lelaki dari grup motor di kampusnya yang terkenal sebagai
pembuat onar dan penggoda perempuan-perempuan yang berlalu lalang di
hadapannya.
Fellice masih berdiri ditempatnya, berdiam
mematung dan menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya bahwa setiap perempuan
yang lewat dihadapan para grup motor itu akan mendapati berbagai siulan disana sini dan
sekedar melemparkan sapaan dengan menyebut perempuan-perempuan itu dengan
sebutan ‘cantik’.
“Sungguh menjijikkan,” batin Fellice. Ia bergidik ngeri sendiri.
Ia menghela nafas panjang dan
mencoba memberanikan diri mengambil langkah ke depan berjalan seorang diri melewati
gerombolan grup motor itu meski dengan resiko ia akan mendapatkan godaan yang
sama seperti perempuan-perempuan tadi yang ia lihat.
Tidak ada pilihan lain, hanya ini
jalan terdekat menuju perpustakaan kampusnya. Ia tidak ingin berjalan memutar
sejauh 500 meter hanya untuk bisa sampai di perpustakaan. Menurutnya, itu sama
saja dengan membuang-buang waktu dan tenaga.
Baru selangkah ia menapaki
kakinya untuk meneruskan langkahnya sebelum ia sempat melewati gerombolan itu. Tiba-tiba sebuah
tangan kokoh mendarat tepat di bahu kanannya. Refleks, langkahnya kembali terhenti. Ia menoleh ke arah
tangan itu berada. Lalu, pada detik berikutnya ia habiskan dengan menatap si
pemilik tangan kokoh tersebut yang telah berdiri tegak di sisi kirinya selama
beberapa detik.
“Kau
tidak ingin kan digoda dengan segerombolan grup motor itu?” ucap lelaki itu seolah menjawab pertanyaan dibenak Fellice.
Lelaki itu mengayun pelan bola matanya kearah gerombolan grup motor itu, memberi isyarat pada Fellice untuk berjalan melewati grup motor itu.
Lelaki itu mengayun pelan bola matanya kearah gerombolan grup motor itu, memberi isyarat pada Fellice untuk berjalan melewati grup motor itu.
Lelaki itu menatap Fellice dengan
tatapan dingin seolah apapun yang dikatakan lelaki itu harus dituruti dan tak
boleh ada bantahan. Benar saja, Fellice memang tidak membantah dan justru
melakukan apa yang diperintahkan oleh lelaki itu. Ia seolah tersihir oleh
pesona lelaki itu sebelumnya.
Jemari-jemari lelaki itu menangkup pundak
Fellice dengan kuat dan dengan sedikit tenaga yang diperlukan lelaki itu, ia menarik
tubuh Fellice agar lebih mendekat dengan tubuhnya hingga tidak ada celah lagi
diatara keduanya. Cengkaraman itu semakin menguat dan itu seolah memberi isyarat bahwa Fellice harus segera melangkahkan kakinya melewati ‘lelaki-lelaki
penggoda’ itu dan lelaki disebelah kirinya pun akan mensejajarkan langkahnya dengan langkah kaki Fellice yang kecil.
Namun, sebelum Fellice melakukan
apa yang diperintahkan oleh lelaki itu. Ia sudah terlebih dahulu melihat kearah
dada kiri lelaki itu saat ia menatapnya seolah mengintimidasi. Yang ia ingat
tulisan yang tertera pada dada kiri jaket almamater yang dikenakan lelaki itu
adalah Devan Mahendra.