Keberartian
Saya teringat dengan sesosok wanita hebat yang belakangan
ini selalu membuat saya menangis jika mengingatnya.
Selamat ulang tahun,
Mama
Ramadhan tahun ini menjadi bulan—mungkin tahun—yang sangat amat sulit
untuk saya. Saya kehilangan seorang ibu, sosok yang paling melekat dihati
setiap anak, merupakan belahan jiwa dalam hidup seorang anak. Ya, tentunya ini
pukulan yang teramat keras bagi saya—adik laki-laki saya dan juga ayah saya. Beliau meninggal saat ramadhan
hari ke-22 tepatnya tanggal 27 Juni 2016 yang lalu. Beliau meninggal karena
sakit, mengidap kanker darah leukimia sejak kurang lebih 1,5 tahun lalu.
Satu lagi, pagi hari tepatnya sehari sebelum hari ulang tahun
almarhumah mama, salah seorang teman satu angkatan saya pun meninggal dunia
karena kecelakaan. Hal ini banyak menimbulkan kontroversi dan juga saya
lihat banyak yang merasa kehilangan dirinya, termasuk saya. Saya memang tidak mengenal dia secara pribadi, karena kami beda kelas, dia di IPS 1 sementara saya di IPA 7. Saya pun merasa kehilangan yang begitu berarti, sebab saya pernah
berada dalam satu kelompok atau regu dengan dia sewaktu kemah sekolah untuk
kelompok hiking dan selama itu saya tau sekali bahwa ia adalah orang yang
sangat baik. Sedikit cerita, sebetulnya regu hiking kami dinilai dengan senior
bahwa kami kurang kompak dan sebagainya, sampai-sampai terjadi pergantian ketua
regu hingga beberapa kali selama perjalanan hiking karna permintaan dari
senior, tetapi saat almarhum dipilih sebagai ketua regu, ia bisa bertahan
bahkan hingga hiking selesai, meskipun tak sepenuhnya sempurna menjadi ketua
regu tapi saya sangat mengapresiasi atas usahanya dan ia bisa mengatur dan membawa kami—anggota-anggotanya—dengan baik hingga
hiking selesai. Hanya sebatas itu saya mengenal dia, tapi saya sangat yakin
bahwa ia adalah orang yang sangat baik.
Kejadian itu berhasil mengubah perspektif saya mengenai
kematian. Betapa kita semua dekat atau bahkan semakin dekat dengan kematian.
Tak perlu menunggu tua atau bahkan sakit untuk sampai pada kematian. Kematian
akan datang menghampiri siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Bagaimanapun itu
semua adalah takdir, setidak siap apapun hal itu akan datang pada saatnya. Tetapi,
apa kalian mau pergi tanpa meninggalkan kesan apapun? Dari kematian ibunda saya
dan teman satu angkatan saya itu, saya semakin yakin dengan sebuah pepatah yang
selalu saya dengar “orang baik biasanya
selalu diambil lebih dahulu”—dan saya belajar bahwa ibunda saya memang
bukan seorang ahli ibadah, beliau selalu menjalankan ibadah wajibnya tapi hanya begitu
saja, hanya sekedar itu dan memang beliau baru-baru saja menyadari dan menekuni
keimanannya itu belakangan sejak ia divonis menderita kanker leukimia, tetapi
saya tau persis bagaimana ibunda saya membangun pondasi yang sangat kuat
terhadap orang lain dalam hal duniawi.
Begini, beberapa malam yang lalu, om saya—pemilik rumah yang
saya tinggali saat SMA ini—dan saya sedang santai di ruang keluarga, lalu om saya memulai
pembicaraan dengan menanyakan bagaimana hari saya, bagaimana suasana hati saya—yang
tentunya ia ketahui bahwa perasaan saya masih dalam suasana berkabung—kemudian ia
berbicara ngalor ngidul mengenai
kehidupan, ia banyak menasehati dan memberi pencerahan pada saya dan sebagainya, sampai pada ketika ia
berbicara begini, “Mama mu itu semasa hidupnya sudah menanam ya istilahnya
menanam suatu kebaikan pada orang lain dan membuat orang lain itu merasa berhutang
budi dan ketika mereka bisa membayar, meraka akan membayarnya dengan kebaikan
pula, tetapi sekarang mama mu sudah tidak ada dan masih ada orang lain yang
masih merasa berhutang budi pada mama mu dan mereka masih ingin membayar
kebaikan tersebut dengan cara melalui kamu, nin. Nah suatu saat ada masanya
orang-orang tadi akan merasa sudah cukup membalaskan budi mereka, sementara
kamu sendiri mungkin masih memerlukan bantuan dan kebaikan dari mereka, kamu
harus bisa menanam milikmu sendiri pada orang-orang itu agar hubungan tadi
terus berlanjut dan nantinya mereka juga akan membalas kebaikanmu kok, tetapi
benar-benar untuk diri kamu sendiri, bukan lagi hasil tanaman mama mu yang disalurkan lewat kamu. Itu sudah hukum
alam kok.” Intinya seperti itu. Saya tau kalian pasti sulit memahami ini, tetapi
saya merasa bahwa ungkapan itu sangat jelas dan memang benar. Terlepas benar
tidaknya, saya lumayan setuju, walaupun hal ini masih bersifat duniawi.
Saya telah membuktikan hal itu saat kehilangan ibunda saya.
Saya melihat banyak sekali orang yang datang mengucapkan belasungkawa melalui
sms atau media sosial, bahkan banyak dari rekan-rekan ibunda saya yang
mengirimkan karangan bunga ke rumah duka—rumah kakek nenek saya dikota
kelahiran saya dan almarhumah. Saya tau sekali bagaimana ibunda saya dengan orang
tuanya, saudaranya, keluarganya, teman-temannya, atasannya, tetangga, dan lainnya. Mereka semua turut sedih atas kepergian sosoknya, banyak yang
menyayangkan atas kepergiannya yang begitu cepat di usianya yang dapat dibilang
masih muda. Tetapi, takdir telah ditetapkan dan ketika itu ia tak bisa lagi
menetap.
Sekali lagi, “Selamat
Ulang Tahun, Mama”