Bahagia
Suasana hati; datar
Cuaca; cerah
Aku bukanlah si tokoh utama dalam cerita ini. Aku hanya seorang penonton; penikmat cerita-cerita klise nan romantis seperti ini.
Ini adalah kisah cerita cinta yang bisa dibilang cinta sepihak. Keduanya adalah teman satu angkatanku sejak SMP hingga saat ini satu perguruan tinggi.
Si lelaki terkenal sebagai 'troublemaker' saat SMP, ia sering membolos, melanggar peraturan, berbuat semaunya sendiri sampai ia bertemu seseorang yang mampu mengalihkan dunianya, satu-satunya perempuan yang mampu merubah kehidupannya, ya lelaki itu menyebutnya sebagai cinta pertama-nya.
Cuaca; cerah
Aku bukanlah si tokoh utama dalam cerita ini. Aku hanya seorang penonton; penikmat cerita-cerita klise nan romantis seperti ini.
Ini adalah kisah cerita cinta yang bisa dibilang cinta sepihak. Keduanya adalah teman satu angkatanku sejak SMP hingga saat ini satu perguruan tinggi.
Si lelaki terkenal sebagai 'troublemaker' saat SMP, ia sering membolos, melanggar peraturan, berbuat semaunya sendiri sampai ia bertemu seseorang yang mampu mengalihkan dunianya, satu-satunya perempuan yang mampu merubah kehidupannya, ya lelaki itu menyebutnya sebagai cinta pertama-nya.
Tunggu, coba bayangkan apa yang sedang kulihat.
Lihat. Perempuan yang sedang berjalan dengan beberapa buku
berukuran tebal dalam dekapannya itu bernama Fellice. Sejak SMP ia terkenal sebagai perempuan paling cantik di angkatanku. Bahkan saat ini, ia semakin populer di
kampus, entah karena semakin dewasa atau bagaimana ia terlihat semakin cantik dengan makeup soft yang biasa ia sapukan pada wajahnya, ditambah lagi ia selalu berpakaian modis dan menjadi sorotan fashion di kampus, ditambah lagi ia sangat pintar. Kurang apa lagi? Bisa dibilang dia sangat sempurna, tapi tidak ada yang benar-benar sempurna, bukan? Aku rasa hanya ada satu kekurangannya, ia tidak pandai bergaul dengan siapapun.
Lalu, mari kita lihat dari arah belakang perempuan itu,
dimana ada seorang lelaki berwajah dingin berjalan dengan langkah lebar dari
arah aula kecil kampus. Lelaki itu memakai celana jeans berwarna dongker dengan
setelan kemeja kotak-kotak berwarna hitam-abu dan tas ransel yang hanya di
selempangkan pada satu lengan kanannya, sementara tangan kirinya memegang jas
almamater kampus yang berwarna hitam.
Tunggu. Lelaki itu semakin memperlebar langkahnya.
Sementara, Fellice berjalan dengan sangat lambat sembari mengecek buku-buku yang
ada di tangannya. Namun, tiba-tiba Fellice terhenti. Sepertinya, ia melupakan
sesuatu. Ia pun membalikkan badan berniat berbalik ke perpustakaan. Sepertinya,
ada satu buku yang ia lupa untuk ia bawa.
Ah, ya, aku tahu adegan ini.
Koridor kampus sedang sepi karena waktu masih menunjukkan
pukul 06.35 pagi, tentunya ini masih terlalu pagi untuk para mahasiswa berangkat ke kampus.
Fellice membalikkan badan, baru saja ia hendak melangkah
maju. Tapi, seseorang bertubuh tegap itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Dan benar seperti dugaanku, tabrakan itu pun tak dapat terelakkan lagi.
Braaak!, suara buku-buku dalam dekapan Fellice itu jatuh
membentur lantai hingga menimbulkan suara hentakan.
Dengan sigap, lelaki itu berjongkok dan memunguti buku-buku
itu. Begitupun dengan Fellice. lelaki itu masih sibuk mengambil buku-buku itu,
sementara fokus Fellice justru tertuju pada nama dada di jas almamater milik
lelaki itu yang disampirkan pada lengan kirinya. Disana tertulis Devan
Mahendra.
Lelaki itu menyodorkan buku-buku itu pada Fellice, “Maaf,
aku nggak sengaja,” lalu ia berdiri.
Ah sial, aku sedikit kecewa dengan apa yang baru saja terjadi. Biasanya dalam adegan tabrakan seperti ini, saat keduanya sedang memungut buku-buku itu jemari-jemari mereka akan bersentuhan dan akan menimbulkan reaksi adegan saling tatap. Tapi kenapa dengan adegan ini tidak?
Ah sial, aku sedikit kecewa dengan apa yang baru saja terjadi. Biasanya dalam adegan tabrakan seperti ini, saat keduanya sedang memungut buku-buku itu jemari-jemari mereka akan bersentuhan dan akan menimbulkan reaksi adegan saling tatap. Tapi kenapa dengan adegan ini tidak?
Fellice pun berdiri, menerima buku-buku itu, “Ah iya, nggak
apa-apa.”
Tanpa ekspresi apapun, lelaki itu pergi.
“Kamu, Devan Mahendra?” teriak Fellice spontan membuat langkah lelaki itu terhenti.
Lelaki itu memutar tubuhnya, memandang kearah Fellice seolah menunggu ucapan Fellice berikutnya.
Fellice merasa terintimidasi, "Kamu benar Devan Mahendra, kan?" ia berusaha mengontrol nada bicaranya agar tak terdengar gugup.
Lagi-lagi lelaki itu tak menjawab, ia masih memandang Fellice begitu intens.
"Apa kamu mengenalku?" tanya Fellice lagi.
"Siapa yang tidak mengenal perempuan populer sepertimu?" timpal Devan.
"Tapi, apa aku mengenalmu?"
“Kamu, Devan Mahendra?” teriak Fellice spontan membuat langkah lelaki itu terhenti.
Lelaki itu memutar tubuhnya, memandang kearah Fellice seolah menunggu ucapan Fellice berikutnya.
Fellice merasa terintimidasi, "Kamu benar Devan Mahendra, kan?" ia berusaha mengontrol nada bicaranya agar tak terdengar gugup.
Lagi-lagi lelaki itu tak menjawab, ia masih memandang Fellice begitu intens.
"Apa kamu mengenalku?" tanya Fellice lagi.
"Siapa yang tidak mengenal perempuan populer sepertimu?" timpal Devan.
"Tapi, apa aku mengenalmu?"
Devan hanya mengangkat kedua bahunya.
“Hh, coba kau ingat-ingat lagi, Fel. Kalau kau sudah ingat,
beritahu aku,” Devan menepuk bahu kiri Fellice dua kali tepukkan, lalu pergi begitu saja
meninggalkan Fellice yang masih tercengang.
Aku yakin, sentuhan kecil dari lelaki itu bagai sengatan yang mematikan dan itu sangat berbahaya sekali untuk jantung Fellice—menimbulkan detakan hebat.
Aku yakin, sentuhan kecil dari lelaki itu bagai sengatan yang mematikan dan itu sangat berbahaya sekali untuk jantung Fellice—menimbulkan detakan hebat.
Lelaki itu baru berjalan beberapa langkah, tubuhnya masih dapat terlihat di koridor.
Fellice berteriak, “HEY! TERIMAKASIH YA BANTUANNYA KEMARIN”
Devan memutar badan dan tersenyum tipis; berharap perempuan itu tidak melihatnya. Ia lalu memutar tubuhnya dan melanjutkan langkahnya hingga
dirinya tak lagi terlihat di koridor. Begitu pula dengan Fellice, berjalan kearah dimana lelaki itu tadi datang; ke perpustakaan untuk mengambil
bukunya yang tertinggal disana.
Fellice mendekap buku-bukunya dengan erat, menggigit bibir
bawahnya sambil tersenyum. Entah mengapa, ia begitu bahagia.